Langsung ke konten utama

Sebuah Tulisan tentang Impian

Tasikmalaya, 7 Januari 2016
23.38 WIB

Tulisan ini dibuat dibawah langit malam yang sunyi temaram di kampung halaman. Bisa jadi sebagai bentuk syukur karena hari ini telah diberi kesempatan untuk kembali berkumpul dengan beberapa teman sekaligus sahabat karib yang beberapa waktu lalu sempat dipisahkan jarak karena masing-masing sibuk mengejar impian masa kecil yang disebut ‘cita-cita’. Banyak memori yang begitu saja dihadirkan kembali hanya lewat percakapan dan gurauan singkat antara kami. Tidak ada samasekali rasa canggung yang timbul ke permukaan meski kami sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama.
“Sahabat ialah dirimu yang kedua, sementara teman ialah mereka yang menemani agar kau tak sendiri” –Pidibaiq
Benar. Hal ini membawa ingatanku kembali pada masa ketika aku masih duduk di kelas 1 SMP, beruntung rasanya aku dipertemukan takdir dengan mereka yang tidak hanya membuatku nyaman berteman tetapi juga terpacu untuk berkembang. Kami yang sempat diintimidasi dengan pandangan aneh dan tertawaan karena terlalu tinggi dalam bermimpi. Masih ku ingat betul, tatapan menganggap remeh yang sama-sama kami terima—dengan terpaksa. Tidak, itu tidak menghambat atau memperkecil tekad kami dalam bermimpi. Kami masih sama, saling menguatkan dan meyakinkan bahwa mimpi kami cukup tinggi sehingga sudah patut ditertawakan!
Berbicara tentang aku, sejak membaca tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata—seketika terbersit dalam benak bahwa aku jatuh cinta dengan buku dan dunia kepenulisan. Sejak itu pula aku dan seorang temanku seringkali nekat untuk mengirimkan puisi atau cerpen ke redaksi koran, berkali-kali berharap untuk dimuat namun belum berkesempatan. Lalu aku bergabung dengan Jurnalistik SMP, menulis puisi di mading mingguan dan mulai mendapat perhatian atas karya yang kubuat. Merasa senang, akhirnya berkelanjutan. Begitu seterusnya aku memupuk diriku dengan pengetahuan tentang kesusastraan demi memperkaya perbendaharaan kata dan wawasan. Entahlah—tapi rasanya aku perlu menulis, karena itu membahagiakanku.
Jika engkau bukan anak seorang Raja atau Ulama, maka jadilah penulis”
Aku membiarkan mimpiku tumbuh semakin besar, begitu pula teman-temanku—mereka tumbuh berkembang dan mendewasa dengan mimpi yang mereka pupuki sedari dini. Sampai ketika tahun terakhir di SMP dan kami melanjutkan pendidikan di tempat yang berbeda, ada yang masuk pesantren, lolos di SMA favorit dan sebagainya. Kami sempat berjanji untuk segera bertemu suatu hari nanti dengan satu mimpi yang sudah dicapai. Aku hanya meng-aamiin-kan.
SMA aku berhenti menulis, entah apa yang merenggut semangatku untuk itu. Rasanya sulit sekali untuk bertahan pada mimpi yang tidak memberimu apa-apa, hanya kebahagiaan—padahal aku perlu itu. Aku perlu dekat dengan mereka yang biasanya ada dan mencambukku keras saat aku mulai lalai dan pesimis. Aku benar-benar butuh mereka. Bahkan ketika berkumpul bersama kawan lama yang tidak ada mereka didalamnya, aku seolah menjadi sosok paling ciut dalam berbicara tentang cita-cita. Keterpurukan-keterpurukan itu mendorongku untuk ‘menyembuhkan’ diriku, ingin mengembalikan antusiasme yang dulu bersemayam dalamku, aku ingin menjadi psikolog supaya aku mampu untuk memahamiku dan menulis banyak hal tentang itu. Aku merasa harus. Tapi ternyata tidak mampu bersaing dengan temanku yang berkemampuan akademik jauh lebih baik dibandingku.
Waktu terus bergulir, keajaiban dan pertolongan Tuhan banyak dihadirkan lewat alunan takdir. Menjelang akhir masa SMA—tetiba saja banyak hal yang terjadi padaku, mengubah pandangku akan diriku sendiri. Aku dinyatakan diterima di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia, seperti sadar atau tidak—tapi tepat tanggal 9 Mei aku menemui binar kebanggaan dikedua mata orangtuaku. Dan itu adalah titik balik, aku kembali menjadi aku yang banyak bermimpi banyak berencana, banyak memasang target, dan banyak lagi menghargai diriku atas kemampuan yang ku punyai. Aku kembali menulis, aku beranjak dari hasrat ingin menjadi psikologi-ku. Jauh sebelum aku berdamai dengan takdir, aku berdamai dengan diriku sendiri. Satu-satunya keperluanku saat ini adalah membuat orangtuaku bangga atas apa yang ku lakukan. Aku perlu untuk itu.
Aku kembali menulis, memenuhi file laptop dengan bait puisi, memenuhi kepalaku dengan imajinasi. Hingga detik tulisan ini kuterbitkan, aku masih terengah-engah membunuh rasa ragu akan diriku sendiri. Aku akan menulis agar banyak orang akhirnya memahami bahwa mimpi-pun perlu mengalami revisi. Bahwa jati diri yang telah dibentuk-pun bisa tiba-tiba hilang dan harus ditemukan oleh kita sebagai pemiliknya.
Dan, dari ruang tengah rumahku—dini hari ini aku yakin bahwa mereka, teman-teman yang dulu sama-sama tumbuh dengan mimpi kini tengah menjemputnya menjadi kenyataan.
Tulisan ini didedikasikan untuk teman sekaligus sahabat lamaku : Rizki Iramdan Fauzi (Ilmu Politik, Universitas Indonesia), Arien Citha Utami (Matematika, Institut Pertanian Bogor), Aldila Sela (Teknik Pertanian, Universitas Padjajaran), Moch. Gilang Syarif (Matematika, UIN Sunan Gunung Djati), Itsna Fauzan Lintia (Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia) dan masih banyak lagi.
Untuk kalian yang membaca tulisan ini, believe that everything we can imagine will be real!


“Karena hidup adalah tentang mengejar mimpi” –Ridwan Kamil

Komentar

  1. Because dreams make us keep going. Semangat!

    BalasHapus
  2. "The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams" Eleanor Roosevelt :D

    Keep writinggg, semangat untuk ngejar impiannya \:D/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Awesome quote mbak :')
      Ah terimakasih udah disemangatin, yeay!

      Hapus

Posting Komentar

Yuk kita diskusi lewat komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Seorang Introvert

Pertama, tulisan ini ku buat atas dasar keresahan dan sebagai bentuk kepedulian bagi mereka yang masih sering meng- underestimate  kemampuan orang lain dan men-" judge book by its cover ". Oke, gini deh sebagai orang yang paling sering dihakimi selaku gabuters (istilah alay untuk orang yang 'gaji buta' alias nggak produktif dalam menjalani hari-harinya) aku merasa perlu untuk mengklarifikasi bahwa diam itu tidak berarti gabut, kenapa harus di-bold? yaa sebagai penekanan statement aja maksudnya. Namun "diam" disini perlu diberi tanda kutip dan biar kujelaskan rinciannya biar tidak menimbulkan salah paham. Setiap orang pasti punya mimpi dalam hidup, dan mimpi itu disusun atas dasar tujuan untuk menjadikan dirinya bergerak ke arah yang lebih baik. Banyak orang yang terang-terangan bicara tentang impian, cita-cita, target hidup, resolusi dan blablabla-nya terhadap orang lain. No problem, karakter orang beda-beda dan mungkin orang tersebut adalah penyandang

Catatan Harian Seorang Biasa

Sumedang, 24 Februari 2016 Siang ini jadi basah karena habis diguyur hujan, genangannya dimana-mana, mencipratkan jejak-jejak tanah yang terbawa tidak sengaja. Setelah berminggu-minggu menghilang, walaupun sebenarnya tetap ada. Aku merasa perlu untuk kembali dan berkomitmen memenuhi hasratku pada menulis. Terinspirasi oleh Bung Fiersa Besari yang baru saja ku ‘kenali’ lewat akun instagramnya beberapa hari yang lalu. Dimana Ia gemar untuk membagi cerita tentang kesehariannya yang mengalir bagai air, yang damai, yang apa adanya dan yang dinikmati itu dalam bentuk tulisan sederhana atau biasa Ia sebut jurnal. Sungguh, itu membikin aku iri! Maka terlahirlah tulisan ini. Yang cenderung akan ada keluh kesah didalamnya, ada juga opini pribadi yang harus dimaklumi jika memang akan selalu didapati kesalahan didalamnya. Sebuah catatan harian yang biasa-biasa saja—yang dari ini kuharap aku akan mampu membuatku mengenali diri dan perjalanan hidupku dari hari ke hari. Namun jika ada pe

Monday Inspiring #1 : Serunya Komunitas Galeri Jalanan di Kota Tasikmalaya

Selamat hari Senin, semoga engkau tidak membencinya seperti yang lain! J Meme Anti Hari Senin yang Banyak Beredar Kita paham betul kalau banyak orang yang terprovokasi untuk ikut-ikutan kampanye ANTI HARI SENIN secara langsung atau tidak langsung, buktinya dengan peredaran jargon ataupun meme yang mengidentikan hari Senin/ Monday sebagai Monster Day dan blablabla lainnya di sosial media yang menurutku pribadi seolah menstimulasi dan membentuk opini publik untuk merasa benci bahkan bermalas-malasan dalam menjalani hari Senin. Kalau dibiarkan begitu saja, takutnya kampanye anti hari Senin ini akan berlarut-larut dan membentuk kepribadian bangsa ini—generasi muda khususnya. Entahlah mungkin terdengar berlebihan dan terkesan membesar-besarkan masalah, tetapi tanpa bermaksud menyinggung pihak manapun aku merasa perlu untuk memerangi hal semacam ini dengan melakukan gerakan perlawanan. Nah, atas dasar kekhawatiran itu aku terinspirasi untuk membentuk satu gerakan yang kuberi tajuk Mo