Langsung ke konten utama

Sebuah Tulisan Lama


Tegar
            Pagi itu dedaunan masih basah diselimuti embun, dinginnya begitu nyata menusuk-nusuk kulitku saat ku dengar sesuatu membuyarkan lamunan.
Brakk ! suaranya samar terdengar berasal dari samping rumahku, tak lama diikuti teriakan dari seorang bocah laki-laki yang tak asing lagi bagiku. Perlahan, aku mengendap-ngendap menuju kegaduhan yang mengusik pagiku.
“Sudah ku bilang jangan kau makan jatah milik kakekmu ! Makanya jadi anak jangan badung, dasar tidak tau diri, ibumu jauh-jauh pergi ke Saudi hanya untuk menghidupi anak sepertimu! Lihat sekarang kakekmu marah” bentak seorang wanita tengah baya dengan pakaian lusuh dan koyo tertempel persis di kedua pelipisnya, dan batang rotan ditangan kanannya. Ia adalah neneknya.
            Bocah laki-laki itu diam, tertunduk, mendekap kedua belah kakinya. Aku melihat luka disana, bukan hanya bekas pukulan rotan dikaki, namun juga hentakan yang persis dihatinya, melukainya. Aku melihat matanya mengarah kepadaku, lalu tertunduk lagi, terdiam lagi.
Ya, sepiring nasi dengan potongan ikan asin telah membawanya pada penderitaan sebesar itu. Ia hanya seorang bocah berumur tak lebih dari 10 tahun. Namun, Ia mengerti bahwa umpatan-umpatan sang nenek adalah bukan sekedar lelucon. Neneknya membencinya. Namun Ia hanya lapar, bukan ‘tidak tau diri’.
“Pergi!”bentak sang nenek, batang rotanitu terangkat ke udara. Seolah mengancam, dan memaksa bocah itu untuk pergi—segera.
            Lagi-lagi ia tak menjawab, hanya segera pergi.
Ia persis dibelakangku, menyeret kaki—dan hatinya yang terluka. Sejenak langkahku terhenti, sekilas mata kami saling bertautan. Kupandang Ia, nanar. Bocah kecil berbalut seragam putih-merah  lusuh dan sepatu yang rusak—berserabut. Aku melihat jejak-jejak air mata di sudut matanya, hampir menetes—namun segera Ia usap. Mungkin tiap kali airmatanya akan menetes Ia kembali tersadar bahwa bocah laki-laki tidak boleh cengeng! Ia harus tabah.
            Di persimpangan jalan, kami mengambil arah berbeda. Meski masih penasaran, aku merelakan Ia luput dari pandanganku.
Aku masih bisa menangkap bayangannya yang setengah berlari, bukan kesekolah. Hey, Ia mengambil jalan yang salah! Ia berlari, jauh sekali. Dalam hatinya Ia ingin menuju tempat dimana tak seorangpun mampu menjangkaunya, ke tempat dimana airmatanya bisa tersembunyikan.
            Sang surya tergelincir, pulang menuju ke peraduannya. Semburat merah di langit barat membiaskan bara di tubuh bocah laki-laki yang masih terus berlari. Sejurus kemudian, Ia menemukan gubuk tepat di tepi hutan. Hujan memaksanya untuk berhenti dan berteduh disana, di tempat yang tidak Ia kenali.
Dalam temaramnya suasana, Ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya—lalu mendekapnya tepat di dada mungilnya yang rapuh. Selembar foto yang membingkai senyum manis seorang perempuan berhijab, yang kini berada ratusan kilometer jauh darinya. Rindunya terbungkam.
            Ia masih saja terdiam, namun bahunya terguncang. Disana Ia menangis sejadi-jadinya. Dalam gelap Ia merebahkan tubuh ringkihnya, selambar lagi kertas Ia keluarkan dari tas. Sebuah gambar yang belum Ia selesaikan.. Sketsa sang nenek, kakek dan dirinya dalam dekapan mereka. Tangannya bergetar, menuliskan sesuatu di diatasnya. “Senang bisa tinggal dengan Kakek dan Nenek”.Karya: Tegar Pradana. Saat itu matanya mulai terpejam, Ia mencoba melupakan segalanya, melupakan tangisnya.
Seperti namanya, Ia harus Tegar.


Komentar

Posting Komentar

Yuk kita diskusi lewat komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Seorang Introvert

Pertama, tulisan ini ku buat atas dasar keresahan dan sebagai bentuk kepedulian bagi mereka yang masih sering meng- underestimate  kemampuan orang lain dan men-" judge book by its cover ". Oke, gini deh sebagai orang yang paling sering dihakimi selaku gabuters (istilah alay untuk orang yang 'gaji buta' alias nggak produktif dalam menjalani hari-harinya) aku merasa perlu untuk mengklarifikasi bahwa diam itu tidak berarti gabut, kenapa harus di-bold? yaa sebagai penekanan statement aja maksudnya. Namun "diam" disini perlu diberi tanda kutip dan biar kujelaskan rinciannya biar tidak menimbulkan salah paham. Setiap orang pasti punya mimpi dalam hidup, dan mimpi itu disusun atas dasar tujuan untuk menjadikan dirinya bergerak ke arah yang lebih baik. Banyak orang yang terang-terangan bicara tentang impian, cita-cita, target hidup, resolusi dan blablabla-nya terhadap orang lain. No problem, karakter orang beda-beda dan mungkin orang tersebut adalah penyandang

Catatan Harian Seorang Biasa

Sumedang, 24 Februari 2016 Siang ini jadi basah karena habis diguyur hujan, genangannya dimana-mana, mencipratkan jejak-jejak tanah yang terbawa tidak sengaja. Setelah berminggu-minggu menghilang, walaupun sebenarnya tetap ada. Aku merasa perlu untuk kembali dan berkomitmen memenuhi hasratku pada menulis. Terinspirasi oleh Bung Fiersa Besari yang baru saja ku ‘kenali’ lewat akun instagramnya beberapa hari yang lalu. Dimana Ia gemar untuk membagi cerita tentang kesehariannya yang mengalir bagai air, yang damai, yang apa adanya dan yang dinikmati itu dalam bentuk tulisan sederhana atau biasa Ia sebut jurnal. Sungguh, itu membikin aku iri! Maka terlahirlah tulisan ini. Yang cenderung akan ada keluh kesah didalamnya, ada juga opini pribadi yang harus dimaklumi jika memang akan selalu didapati kesalahan didalamnya. Sebuah catatan harian yang biasa-biasa saja—yang dari ini kuharap aku akan mampu membuatku mengenali diri dan perjalanan hidupku dari hari ke hari. Namun jika ada pe

Monday Inspiring #1 : Serunya Komunitas Galeri Jalanan di Kota Tasikmalaya

Selamat hari Senin, semoga engkau tidak membencinya seperti yang lain! J Meme Anti Hari Senin yang Banyak Beredar Kita paham betul kalau banyak orang yang terprovokasi untuk ikut-ikutan kampanye ANTI HARI SENIN secara langsung atau tidak langsung, buktinya dengan peredaran jargon ataupun meme yang mengidentikan hari Senin/ Monday sebagai Monster Day dan blablabla lainnya di sosial media yang menurutku pribadi seolah menstimulasi dan membentuk opini publik untuk merasa benci bahkan bermalas-malasan dalam menjalani hari Senin. Kalau dibiarkan begitu saja, takutnya kampanye anti hari Senin ini akan berlarut-larut dan membentuk kepribadian bangsa ini—generasi muda khususnya. Entahlah mungkin terdengar berlebihan dan terkesan membesar-besarkan masalah, tetapi tanpa bermaksud menyinggung pihak manapun aku merasa perlu untuk memerangi hal semacam ini dengan melakukan gerakan perlawanan. Nah, atas dasar kekhawatiran itu aku terinspirasi untuk membentuk satu gerakan yang kuberi tajuk Mo